Kartini dielukan sebagai Ibu Emansipasi Wanita Indonesia. Hari lahirnya, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini yang dijadikan momen untuk meminta kesetaraan gender. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Padahal emansipasi pada dasarnya adalah persamaan hak. Yang sama adalah haknya bukan segala-galanya.
Selama ini, momentum Hari Kartini diperingati (oleh sebagian pihak) untuk meminta kesamaan kedudukan. Kedudukan yang dimaksud adalah kesamaan tugas dan kewajiban. Padahal dulu Kartini ‘hanya’ meminta hak untuk sekolah. Coba dibaca lagi sejarah singkat Kartini. Sejarah hidupnya memang singkat karena meninggal beberapa hari setelah melahirkan anak laki-laki pertamanya. Kartini meninggal pada usia 25 tahun.
Yang diperjuangkan Kartini saat itu adalah keinginannya. Keinginan wanita pribumi Jawa untuk terus bersekolah. Sementara, keadaan adat dan lingkungan tidak memungkinkan untuk itu. Wanita Jawa (saat itu) tidak boleh bersekolah karena harus menjalani proses pingitan. Terlebih RA Kartini adalah seorang bangsawan. Tidak baik seorang perawan bangsawan keluar rumah (untuk sekolah) sebelum menikah.
Sementara sekarang, emansipasi yang diminta adalah kesamaan hak dan kewajiban. Bahkan sebagian orang meminta untuk disamakan tugasnya. Jika laki-laki boleh jadi presiden, maka perempua boleh jadi presiden. Jika laki-laki boleh jadi anggota DPR maka wanita boleh jadi anggota DPR. Itu masih wajar, dan selayaknya didukung. Tetapi hendaknya juga wanita yang memperjuagkan emansipasi terebut harus memikirkan dan berusaha memperjuangkan tugasnya sebagai wanita, sebagai istri bagi suami, dan sebagai ibu bagi anak-anaknya.
Dengan mengembalikan pada asal muasal perjuangan Kartini untuk bisa belajar. Maka seharusnya para wanita tetap menjadi wanita. Para laki-laki (bapak dan suami) harus bisa menempatkan diri. Tidak mengekang istri atau anak perempuannya untuk mendapatkan hak. Dengan demikian cita-cita emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan Kartini tidak salah arah justru menjerumuskan pada titik kebingungan permasalahan.